Walter Rauschenbusch lahir dan dibesarkan di Rochester, New York. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Rochester Theological Seminary, ia ditahbiskan sebagai pendeta di Second Baptist Church di New York. Dalam pengalaman pelayanannya di daerah yang yang disebut "Hell's Kitchen," ia melihat betapa kerasnya kehidupan saat itu. Ia menyaksikan eksploitasi tenaga kerja oleh industri-industri raksasa, penindasan kepada kaum miskin dan lemah, dan perlakuan diskriminatif dari pihak penguasa kepada orang-orang yang menderita. Sementara di sisi lain, ia melihat gereja tidak melakukan tindakan apapun. Sikap pasif dari gereja itu dimengerti oleh Rauschenbusch sebagai tanda dari kegagalan teologi di dalam menjawab tantangan zaman.
Bagi Rauschenbusch teologi membutuhkan suatu penyesuaian untuk dapat menjawab tantangan ataupun kebutuhan zaman. Ia menyadari adanya kesulitan-kesulitan yang besar dalam usaha penyesuaian itu. Kunci untuk menjawab tantangan ini adalah penempatan kembali doktrin Kerajaan Allah sebagai pusat dari teologi.
Melalui Injil Sosial, Rauschenbusch ingin kembali menempatkan doktrin Kerajaan Allah sebagai pusat dari teologi.[1] Oleh karena itu dalam Injil Sosial, doktrin Kerajaan Allah menjadi pusat, bahkan "This doctrine [the Kingdom of God] is itself social gospel."[2] Seluruh doktrin yang lain haruslah diinterpretasikan (ulang) di bawah terang doktrin ini.
Tulisan ini mencoba melihat apa dan bagaimana karakteristik doktrin Kerajaan Allah menurut Rauschenbusch, latar belakang filsafat di balik pemikiran Rauschenbusch, dan implikasinya terhadap doktrin Kerajaan Allah, doktrin dosa dan doktrin keselamatan. Setelah itu akan diberikan kajian terhadap pemikiran Rauschenbusch dari sudut pandang teologi Injili. Dalam bagian penutup akan diberikan kesimpulan dan sumbangsih pemikiran Rauschenbusch dalam konteks gereja di Indonesia.
SIGNIFIKANSI SENTRALITAS DOKTRIN KERAJAAN ALLAH
Menurut Rauschenbusch, Kerajaan Allah merupakan suatu doktrin yang semestinya menjadi sentral dari sebuah sistem teologi. Para nabi Perjanjian Lama sampai dengan masa Yohanes Pembaptis pun selalu memberikan tekanan pada tema Kerajaan Allah. Yesus pun selalu berbicara tentang Kerajaan Allah. Yesus hanya dua kali menggunakan kata "gereja" di dalam ucapan-Nya, tetapi keaslian dari kedua ucapan itu pun diragukan. Oleh karena itu menurut Rauschenbusch, "It is safe to say that [Jesus] never thought of founding the kind of institution which afterward claimed to be acting for him."[3]
Dalam perkembangan sejarah, nama dan ide tentang gereja mulai mendominasi, sementara nama dan ide tentang Kerajaan Allah ternyata "tenggelam." Hal ini terjadi karena teologi mulai kehilangan kontak dengan Injil Sinoptik, yang banyak memberikan penekanan pada berita tentang Kerajaan Allah. Bahkan pada zaman reformasi, gereja pun tidak membawa pengaruh yang besar untuk mengangkat doktrin Kerajaan Allah. Reformasi gereja hanya membawa pengaruh dalam pemahaman secara eskatologis tentang Kerajaan Allah.
Menurut Rauschenbusch, sudah semestinya doktrin Kerajaan Allah mulai menempati posisi sentral dalam teologi Kristen. Kerajaan Allahlah berita utama dari Yesus Kristus. Oleh karena itu, dengan menempatkan doktrin Kerajaan Allah sebagai sentral dari teologi, maka akan didapatkan suatu sistem teologi yang berdasar dan sesuai dengan Kitab Suci.
Untuk memahami lebih mendalam pikiran Rauschenbusch tentang Kerajaan Allah, baiklah kita memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Definisi. Kerajaan Allah menurut Rauschenbusch adalah suatu konsepsi sosial.
Terdapat suatu hubungan yang erat antara etika dengan Kerajaan Allah. Yesus Kristus menyatakan nilai ilahi dari kehidupan dan kepribadian. Oleh karena itu keselamatan-Nya bersifat memulihkan nilai ilahi dari kehidupan dan kepribadian. Kerajaan Allah akan memberikan jaminan kepada setiap individu untuk mengembangkan diri dan kepribadian semaksimal mungkin.
Di dalam Kerajaan Allah, kasih yang merupakan hukum yang terutama dari Yesus kristus, akan lebih berkembang. Oleh karena itu, kasih akan menjadi suatu kekuatan untuk menghentikan kekuatan politis yang menindas dan oligarki di dalam ekonomi. Ekspresi tertinggi dalam kasih adalah penyerahan dengan sukarela apa yang menjadi milik seseorang, hidup, harta milik dan hak. Orang yang memiliki kasih tidak akan mengeksploitasi orang lain, meskipun ada kesempatan untuk hal itu. Oleh karena itu, terdapat kaitan yang erat antara etika hidup dan kewargaan dalam Kerajaan Allah.
Kedua, Karakteristik Kerajaan Allah.
Ketiga, Kerajaan Allah dan Gereja.
Akibat pola pemikiran di atas, yaitu penempatan doktrin Kerajaan Allah yang dipahami dalam arti etis, penafsiran Rauschenbusch terhadap doktrin-doktrin yang lain menjadi berbeda sama sekali. Ia menafsirkan (ulang) doktrin-doktrin lain seperti doktrin dosa dan keselamatan di bawah terang doktrin Kerajaan Allah. Rauschenbusch melihat dosa sebagai penghalang bagi terciptanya suatu persekutuan kebenaran dan keadilan di antara umat manusia. Dosa adalah pikiran-pikiran yang bersifat asosial ataupun yang melawan tatanan sosial. Singkatnya, "Sin is essentially selfishness."[5] Keegoisan yang membuat manusia menaruh kepentingan dirinya di atas kepentingan orang lain. Oleh karena kuasa dosa yang begitu mempengaruhi semua manusia, maka sulitlah tercipta suatu komunita yang di dalamnya terdapat keadilan, kebenaran dan kasih. Manusia yang sudah terikat dalam kuasa dosa membutuhkan keselamatan. Keselamatan adalah suatu tindakan yang membebaskan manusia dari dosa. "IF sin is selfishness, salvation must be a change which turns a man from self to God and humanity."[6] Manusia setelah mengalami keselamatan akan mengalami perubahan dalam fokus hidupnya. Fokus kehidupannya bukanlah diri sendiri, tetapi pada Tuhan dan orang lain. Di dalam diri Yesus Kristus ditemukan suatu gambaran bagaimana seorang manusia seharusnya hidup. Singkatnya, "The personality of Jesus is a call to emancipation of our own personalities."[7]
Tetapi pemikiran Rauschenbusch tentang Kerajaan Allah sebagai suatu komunita yang menaati etika yang dari Allah bukanlah suatu pemikiran baru dalam dunia teologi. Sangat jelas bahwa ia mendapatkan pengaruh yang kuat dari pemikiran A. Ritschl. Ritschl mengartikan Kerajaan Allah dalam pemahaman etis. Di dalam Kerajaan Allah, nilai-nilai etika akan berlaku dan dijunjung tinggi. Ritschl memahami, "The Kingdom of God as the organization of redeemed humanity, whose action is love." [8] Pendekatan etis terhadap Kerajaan Allah pun tidaklah khas pemikiran Ritschl. Ritschl mendapat pengaruh besar dari pemikiran dan definisi Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa, " The Kingdom of God is a uniting of humanity by the laws of virtue."[9] Ritschl mengambil dan "mengkristenkan" definisi ini dengan mengubah laws of virtue (berbentuk jamak) menjadi law of love (berbentuk tunggal). Oleh karena itu Ritschl menyatakan bahwa, "Jesus himself understood by the Kingdom the organization of humanity by action whose motive is love."[10]
Rauschenbusch mengakui pengaruh Ritschl ini di dalam dirinya. Tetapi menurutnya, Ritschl "does not get beyond a few great general ideas. He was born too early to get sociological ideas."[11] Rauschenbusch meneruskan langkah Ritschl dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip sosial kepada penekanan etis dari Kerajaan Allah. Oleh karena itu tepatlah kritik Visser't Hooft bahwa "The Social Gospel ... is more than an application of Christian principles to society; it is also an application of social principles to Christianity."[12] Atau secara lebih singkat, injil sosial "is a form of interpenetration of religious and social thought."[13]
KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN RAUSCHENBUSCH
Pertama, Signifikansi Sentralitas Doktrin Kerajaan Allah.
Kedua, Doktrin Kerajaan Allah.
Ada pengertian "sudah ada sekarang" dan "belum terjadi sekarang" pada kerajaan Allah. Kedua aspek itu harus dimengerti dan diterima orang-orang Kristen. Untuk memandang kerajaan sebagai pilihan antara telah direalisasikan secara total sekarang atau secara total dalam bentuk yang akan datang, adalah pelanggaran terhadap berita Perjanjian Baru."[17]Dengan membuang aspek keakanan dari Kerajaan Allah, maka teologi Rauschenbusch adalah pengingkaran terhadap berita Perjanjian Baru itu sendiri.
Kitab Suci mengajarkan bahwa Kerajaan Allah sudah datang di dalam dunia ini. Kerajaan Allah itu sudah datang melalui pelayanan Yesus Kristus. Dua bagian Perjanjian Baru yang secara eksplisit menegaskan bahwa Kerajaan Allah bersifat kekinian adalah 'Mat. 12:28' dan paralelnya 'Luk. 11:20'. Dalam 'Matius 12:28' (bdk. 'Luk. 11:20'), Yesus menyatakan, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah itu sudah datang."[18] Sedangkan bagian lain yang juga menekankan kekinian Kerajaan Allah terdapat dalam 'Lukas 17:20-21', "Kerajaan Allah ada di antara kamu."[19] Konteks 'Luk. 17:20-21' adalah pertanyaan orang Farisi tentang waktu kedatangan kerajaan.
Selain aspek kekinian, Yesus pun berbicara tentang aspek keakanan dari Kerajaan Allah. Gagasan tentang aspek keakanan dari Kerajaan Allah mencapai puncaknya dalam khotbah tentang akhir zaman, seperti dalam 'Mat. 24-25'. Dalam bagian ini dideskripsikan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dan puncaknya adalah kedatangan Anak Manusia dalam kemuliaan untuk memerintah sebagai raja. Mengomentari 'Mat. 24-25', R. T. France menyatakan, "Its theme is the future repercussions of his ministry, the ultimate consummation of the kingdom of heaven."[20] Kesadaran bahwa konsumasi final dari Kerajaan Allah akan terjadi di masa depan juga diajarkan Yesus dalam Doa Bapa Kami. Dalam 'Mat. 6:10', dicatat Yesus berdoa, "Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendakMu." Doa ini memiliki penerapan untuk masa kini dan masa yang akan datang. Jika kerajaan itu sudah terwujud sepenuhnya pada masa itu, maka permohonan Yesus menjadi tidak berarti.
Dengan memberikan penekanan pada aspek kekinian dari Kerajaan Allah, Rauschenbusch menaruh tanggung jawab terwujudnya kerajaan itu di dalam diri orang-orang beriman. Setiap orang beriman terpanggil untuk mengejawantahkan imannya dalam perilaku sehari-hari. Sehingga, komunita masyarakat akan segera berkembang ke arah yang jauh lebih baik. Suatu komunita masyarakat yang baik, hidup dalam kedamaian dan persaudaraan, adalah Kerajaan Allah.
Kitab Suci memberikan penjelasan bahwa salah satu sifat dari aspek keakanan Kerajaan Allah adalahs, sifat supernatural."[21] Manusia dapat meyakinkan orang tentang kerajaan itu ('Kis. 19:8'), tetapi tidak dapat membangunnya. Ini adalah pekerjaan Allah. Manusia hanya dapat menerima Kerajaan Allah ('Mrk. 10:15; Luk. 18:7'), tetapi tidak pernah dikatakan bahwa manusia membangunnya. Manusia dapat menolak kerajaan itu ('Mat. 23:13'), tetapi manusia tidak dapat menghancurkannya.
Manusia dapat mencari ('Mat. 6:33'), berdoa untuk kedatangannya ('Mat. 6:10'), dan mencarinya dengan sungguh-sungguh ('Mat. 6:33'), tetapi manusia tidak dapat membawanya ke dalam dunia. Manusia dapat bekerja bagi kerajaan itu, menderita bagi kerajaan itu ('2Tes. 1:5'), tetapi mereka tidak dapat bertindak atas kerajaan itu sendiri. Manusia dapat mewarisi kerajaan itu ('Mat. 25:34'), tetapi manusia tidak dapat memberikannya kepada orang lain.
Berbeda dengan Rauschenbusch yang mengartikan Kerajaan Allah dalam arti etis dan sosial, Kitab Suci menegaskan bahwa Kerajaan Allah itu bersifat soteriologikal. Sebagaimana Ladd menyatakannya, "The object of the divine rule is the redemption of men and their deliverance from the powers of evil."[22] Jadi berita utama dari Kerajaan Allah bukanlah soal keadilan sosial, tetapi soal penebusan dan pembebasan dari dosa.[23] Hal ini menegaskan keyakinan bahwa terwujudnya Kerajaan Allah adalah semata-mata tindakan Allah sendiri. Seperti yang dinyatakan dalam 'Mat. 24:34' bahwa pada saat konsumasi final dari Kerajaan Allah, orang percaya akan menerima (bukan mewujudkan) kerajaan itu.
Ketiga, Kerajaan Allah dan Gereja.
Bagaimana Kitab Suci menjelaskan korelasi antara Kerajaan Allah dan gereja? Pertama, Kerajaan Allah "menciptakan" gereja. Secara individual, Kerajaan Allah berarti keselamatan ataupun penghakiman ('Mat. 3:11'); secara historis, aktivitas dari Kerajaan Allah berakibat pada munculnya gereja ('Mat. 23:37-38'). Jadi tepatlah pernyataan Ladd bahwa, The Kingdom of God creates the church."[26] Kedua, Kerajaan Allah juga bekerja melalui gereja. Para murid memberitakan injil Kerajaan Allah dan melakukan tanda-tanda dari kerajaan itu ('Mat. 10:7-8; Luk. 10:9, 17'). Secara spesifik Kitab Suci mengajarkan bahwa Kerajaan Allah hanya bekerja melalui gereja. Kitab Suci tidak pernah menyebutkan bahwa Kerajaan Allah juga bekerja melalui keluarga, institusi sosial, ataupun pemerintah, seperti yang diyakini Rauschenbusch.
Keempat, Pengaruh Doktrin Kerajaan Allah Terhadap Doktrin Lain.
... the essence of sin is simply failure to let God be God. It is placing something else, anything else, in the supreme place which is his. Thus, choosing oneself rather than God is not wrong because it is self that is chosen, but because something other than God is chosen. Choosing any finite object over God is wrong, no matter how selfless such an act might be.[27]Dengan demikian, definisi bahwa esensi dosa adalah keegoisan mempunyai kelemahan yang besar mengingat ada tindakan-tindakan yang tidak dapat diartikan sebagai keegoisan, namun tetaplah sebuah dosa. Misalnya, tindakan Robin Hood yang mencuri dari orang kaya untuk memberikannya kepada orang miskin. Jelas motif dari tindakan ini bukan egoisme, tetapi pencurian dengan alasan apapun adalah dosa, karena bertentangan dengan hukum Allah.
Pemahaman Rauschenbusch bahwa keselamatan semata-mata adalah kesembuhan dari egoisme, hanyalah merupakan sebagian dari karya keselamatan Yesus Kristus. Dalam perspektif Kitab Suci, manusia membutuhkan lebih dari sekadar penyembuhan, manusia tidak hanya sakit dalam dosa, tetapi mati dalam dosa ('Ef. 2:1'). Oleh karena itu dalam rangkaian karya keselamatan Yesus Kristus terdapat regenerasi yang tidak saja menyembuhkan manusia tetapi menjadikan manusia suatu natur yang baru, natur ilahi ('2Ptr. 1:4'), sehingga manusia disebut sebagai ciptaan baru ('2Kor. 5:17'). Melalui regenerasi inilah manusia mendapatkan kehidupan yang baru: pikiran yang baru ('1Kor. 2:16') untuk mengenal Allah; hati yang baru ('Rm. 5:5') untuk mengasihi Allah ('lYoh. 4:9'); dan keinginan baru ('Rm. 6:13') sehingga dapat menaati Allah.[28]
PENUTUP
Rauschenbusch membangun teologinya dengan satu semangat yang baik, yaitu untuk menjawab tantangan zaman pada waktu itu. Ia berusaha dengan gigih agar Kitab Suci tetap relevan dan menjawab tantangan zaman. Sehingga dengan dasar teologi yang dibangun menurut Kitab Suci, teologi tidak akan mati, tetapi teologi akan menggerakkan gereja untuk bertindak.
Dalam proses pembangunan teologi yang berdasarkan Kitab Suci inilah, Rauschenbusch mendapatkan pengaruh dari filsafat-filsafat yang berkembang pada waktu itu. Pengaruh-pengaruh ini semakin membesar, bahkan mendominasi cara berpikirnya. Akibatnya, yang terjadi bukanlah eksegesis, tetapi lebih merupakan eisegesis.[29] Teologi yang dihasilkannyapun menjadi tidak sesuai sepenuhnya dengan apa yang telah dinyatakan oleh Kitab Suci. Rauschenbusch tidak membiarkan Kitab Suci berbicara sebebas-bebasnya, dengan membuang keluar bagian-bagian Kitab Suci yang tidak sesuai dengan pemikirannya.
Bagaimanapun juga, jeritan hati Rauschenbusch bahwa teologi seharusnya memampukan gereja untuk menghadapi tantangan zaman, patut untuk direnungkan. Di tengah-tengah gejolak yang terjadi di Indonesia, di manakah gereja? Apa yang dilakukan gereja? Korupsi, kolusi, kekerasan, dan eksploitasi tenaga kerja menjadi bagian dari kehidupan bernegara, di mana gereja berada. Apa yang dilakukan gereja, yang mengaku sebagai kumpulan orang yang mengenal Allah, terhadap semua ketidakbenaran dan ketidakadilan ini?[30] Gereja yang sudah mengenal Kebenaran itu, semestinya dapat menyuarakan kebenaran. Gereja yang mengaku mempunyai teologi yang lurus, semestinya juga dapat meluruskan semua kebengkokan yang terjadi dalam masyarakat.[31]
Boleh saja ada yang menentang teologi Rauschenbusch habis-habisan, tetapi sekali lagi, jeritan hatinya bahwa teologi seharusnya mampu menggerakkan gereja untuk menghadapi tantangan zaman, perlu untuk direnungkan. Terutama bagi pemimpin-pemimpin gereja di Indonesia. Mungkin, jika Rauschenbusch hidup di Indonesia pada masa kini, ia akan mengatakan bahwa gereja di Indonesia perlu bertobat dari satu dosa saja, yang merupakan hakekat dosa, keegoisan. Keegoisan yang terwujud dalam sikap mementingkan keselamatan diri sendiri, tanpa mempedulikan orang lain. Ungkapan yang seringkali terdengar,"Yang penting gereja saya baik-baik saja, tidak usah berbicara soal politis, berbahaya!"[32] Mungkin, kalau Rauschenbusch ada di sini, ia akan meneteskan air matanya ... sekali lagi.
Catatan Kaki: